Resume buku Teori Public Relations Perspektif Barat & Lokal - Rachmat Kriyantono, Ph,D.

Arrumnur Ramadhina Sasmita
155120200111041
Teori Public Relations A.Kom.4 
Universitas Brawijaya

Teori Sistem, Boundary Spanning, dan Relationship Managemet Theory
TEORI SISTEM
Sistem merupakan dasar kehidupan manusia. Teori sistem memfokuskan perhatian untuk memahami bagaimana kualitas fungsi yang dijalankan setiap sistem dalam suati relasi dinamis dengan sistem-sistem lainnya. Teori system menjelaskna esensi dasar kehidupan, yaitu pentingnya menjalin hubungsan sosial. Menjalin hubungan sosial yang baik merupakan hasil (output) dari suatu interaksi sosial. Jika teori system diterapkan, maka prinsip pokok yang berlaku yaitu organisasi merupakan salah satu bagian (subsistem) dari suatu system sosial yang lebih kompleks, karena saling berhubungan, saling tergantungan dan memengaruhi satu sama lain.
Teori system mengatakan pentingnya saling keterhubungan antara semua elemen tubuh yang diadopsi dari biologi dan digagas oleh Ludwig von Bertanlanffy pada 1940-1950an.. Setiap manusia atau system soail, seperti orgnisme fisik, living organism, ekonomi, efek media pada khalayak, dan system sosial, dan system matematika, dikelilingi oleh batas-batas yang cair, yang memungkingkan saling pengaruh dan tidak hidup secara terisolasi (Heath,2005 ; krippendroff,2008).
Dari biologi, teori system berkembang menjadi teori yang interdisipliner dan diadopsi beberapa pakar bidang ilmu yang berbeda, seperti Kennerth Boulding (ekonomi), Anatol Rapoport (matematika), Rushell Ackoff (arsitektur), West Churchman (manajemen), Talvcott Parsons (sosiologi). Little John (1992) menyebut teori system tidak dapat disebut teori yang khusus membahas komunikasi, tetapi mempunyai aplikasi penting studi komunikasi dan peristiwa sosial lainnya. Teori system diadaptasi oleh model simetris dan teori excellent  (Grunig, 1998).
Teori system menurut Heath (2009), berguna untuk memahami proses public relations. Tapi teori ini tidak focus membahas pesan yang secara strategis dan etis diperlukan dalam proses penyesuaian dengan lingkungan, sehingga informasi dapat mengalir dan relasi terjadi dalam keseimbangan. Teori system tidak focus membahas peran etik, bahasa, dan pemaknaan yang terkandung dalam pesan.

KOMUNIKASI SEBAGAI PERANGKAT SISTEM
            Menurut Kreps (1990 ; 94),” output system tidak pernah sama dengan inputnya.” Organisasi memproses input untuk menghasilkan output yang akan membantu pencapaian tujuannya, sehingga kualitas tidaknya perubahan input menjadi output tergantung pada proses di dalam organisasi. Komunikasi merupakn darah bagi langgengnya hubungan dan kerja sama dalam system. Informasi sebagai produk komunikasi, dengan demikian merupakan input dan output bagi organisasi dan lingkungannya. Dengan kata lain, komukasi membuat system tetap hidup dengan cara mengoordinasikan bagian-bagian system. Sebagai suatu system, organisasi memiliki karakteristik yang dimiliki setiap system sosial, yaitu :
a.       Keseluruhan dan saling bergantung (wholeness and interdependence).
b.      Hierarki (hierarchy).
c.       Peraturan sendiri dan control (self-regulation and control)
d.       Pertukaran dengan lingkungan (interchange with the environment)
e.       Keseimbangan (balance)
f.       Perubahan dan kemampuan adaptasi ( change and adaptability)
g.       Sama tujuan ( aquifinality)

PUBLIC RELATIONS SEBAGAI SUBSITEM DALAM ORGANISASI
            Grunig & Hunt (1984, dalam Kriyantono, 2014) mendefinisikan bahwa pendekatan teori system lebih berfokus pada aktivitas public relataions  agar setiap upaya manajemen komunikasi dapat mendukung interaksi sosial antara organisasi dan publiknya. Teori system menganggap bahwa aktivitas organisasi mengakibatkan konsekuensi bagi publiknya. Sebaliknya, tindakan public sebagai respons terhadap aktivitas organisasi juga menimbulkan konsekuensi tertentu bagi organisasi. Untuk mengatasi masalah yang muncul, organisasi membutuhkan subsistem public relations  yang dapat menjalin komuniksi antara organisasi dan public.

PERAN PUBLIC RELATIONS DALAM MENJALIN HUBUNGAN
            Menurut Toth (2002. Dalam Kriyantono, 2014) Public relations  adalah proses mengelola strategi komunikasi untuk membnagun relasi yang baik antara organisasi dan publikna, apakah secara khusus proses ini dilakukan oleh Departemen Public Relations atau anggota organisasi lainnya. Artinya, komunikasi sebagai alat utama public relations  memainkan peran sentral dalam proses saling keberhungan antara organisasi, public relations¸ dan publiknya.
            Menurut Lattimore, dkk (2007, dalam Kriyantono, 2014) terdapat dua peran yang diharapkan dilakukan secara terus-menerus oleh PR, yaitu : (1) peran teknis, yaitu hal-hal yang menyangkut pekerjaan teknis seperti menulis, press-realese, membuat newsletter, fotografi, membuat priduksi audiovisual, dan menggelar event. Lalu menurut Kriyantono (2012a: 10, dalam Kriyanyono, 2014) aktivitas PR dapat dibagi ke dalam dua perspektif, yaitu public relations  sebagai metode komunikasi dan public relations  sebagai teknik komunikasi.

AKTIVITAS BOUNDARY SPANNING
Dalam interaksi anatara organisasi dan lingkungannya, public relations mempunyai fungsi sebagai penghubung antara organisasi dan lingkungannya. Fungsi ini dikenal dengan istilah “boundary spanning”. Melalui fungsi ini, public relations berinteraksi dengan lingkungannya untuk monitoring, seleksi, dan menghimpun informasi. Informasi tersebut kemudian disapaikan kepad kelompok dominan dalam organisasi. Karena itu dapat dikatakan fungsi boundary spanning ini sebagai aktivitas “penjaga gerbang”.
Aktivitas melaksanakan fungsi boundary spanning yang dilakukan praktisi PR mencakup antara lain:
·         Menjelaskan informasi tetntang organisasi kepada public(lingkungannya)
·         Memonitor lingkungannya sehingga mengetahui apa yang terjadi dan menginterprestasi isu-isu yang potensial memengaruhi aktivitas organisasi dan membantu menajemen merespons isu-isu tersebut melalui aktivitas isu manajemen.
·         Membangun system komnukasi dua arah dengan publiknya agar organisasi dapat berdaptasi dengan lingkungannya.
Aktivitas boundary spanning menerapkan system terbuka yaitu system yang membuka diri untuk proses tukar menukar informasi dan sumber daya dengan lingkungannya. Public relations bertugas untuk mengevaluasi kualitas hubugan antara organisasi dan publiknya. Menurut Heith (2005, dalam Kriyantono, 2014) “organisasi tidak dapat bergantung hanya pada proses dan interaksi internal seperti yang dilakukan system tertutup. Organisasi harus berinteraksi dengan kelompok lainnya.” Sebaliknya, ciri organisasi dengan system tertutup yaitu praktisi public relations lebih banyak memprouksi dan menyampaikan informasi tanpa memperhatikan umpan balik publiknya.
Adapun faktor yang menghambat aktivitas boundary spanning, yaitu :
a.       Tersumbatnya saluran komunukasi.
b.      PR gagal memosisikan sebagai “dominant-coalition”.
c.       Hubungan media yang kurang baik.

RELATIONSHIP MANAGEMENT THEORY
            Teori ini berfokus pada proses memanajemen relasi antara organisasi dan publiknya. Maka teori ini menjadi salah satu teori penting public relations, karena terkait dengan fungsi dasar public relations, yaitu aktivitas komunikasi yang menghubungkan organisasi dan publiknya. Komunikasi ditunjukan unutk menjaga keuntungan yang bisa dirasakan para peserta komunikasi, organisasi, dan public, yiaut ada suatu keseimbangan kepentingan antara keduanya.
            Teori ini merupakan pengembangan dari teori exellenct. Menurut Botan & Hazleton (2006, dalam Kriyantono, 2014) Teori excellent lebih berdasarkan pada paradigma fungsional, yaitu komunikasi dipandang sebagai sarana mencapai tujuan organisasi dengan strategi simetris. Sementara, OPR berangkat dari paradigm co-cretional yang menganggap komunikasi digunakan untuk menstimulasi public untuk bersama-sama menciptakan makna dan menekankan membangun relasi dengan semua public.
            Berikut ini adalah prinsip dasar yang harus dilakukan untuk membangun relasi-mulai dari perencanaan, implementasi hingga evaluasi menurut teori relationship management :
1.      Focus utama public relations yaitu membangun relasi.
2.      Relasi yang berhasil jika didasarkan upaya meraih keuntungan bagikedua pihak, organisasi dan public.
3.      Organization-public relations bersifat dinamis sehingga sellau berubah setiap saat.
4.      Relasi didorong oleh kebutuhan dan keinginan dari organisasi danpublic. Kualitas relasi tergantung pada persepsi terhadap tingkatan sejauh mana harapan dapat dipenuhi.
5.      Manajemen OPR yang efektif akan meningkatkan pemahaman dan keuntungan bagi organisasi dan publik.
6.      Keberhasilan opr diukur berdasarkan kualitas relasi, bukan produksi dan penyebaran pesan.
7.      Komunikasi yaitu alat strategi memanajemen relasi, tetapi komunikasi tidak dapat menjaga relasi jangka panjang tanpai diiringi perilaku organisasi.
8.      OPR dipengaruhi oleh sejarah relasi, sifat interaksi, frekuensi pertukaran, dan resiprositas (saling timbal balik).
9.      OPR dapat dikategorisasikan ke dalam beberapa jenis, yaitu relasi personal (interaksi personal antara perwakilan organisasi dan anggota publik), relasi profesional (interaksi yang terjadi karena alasan-alasan keprofesionalan), relasi komunitas (relasi yang didasarkan persepsi bahwa organisasi mendukung kepentingan komunitas), baik bersifat simbolis (communication driven) maupun perilaku (program driven).
10.  Penciptaan relasi dapat terjadi dalam berbagai aspek kajian dan praktik public relations. (Ledingham, 2005, h. 742-743 dikutip di Kriyantono, 2014).

Teori Matematika Komunikasi dan Uncertainty Reduction Theory

TEORI MATEMATIKA KOMUNIKASI
            Teori informasi ini digagas oleh dua ahli matematika yaitu Claude Shannon dan Warren Weaver, keduanya membuat model yang dipublikasikan dalam buku The Mathematical Theory of Communication  pada 1949. Teori ini menggambarkan proses komunikasi antarmanusia sebagai proses transmisi yang linier antara komunikator kepada komunikan. Informasi dianggap sebagai materi fisik yang berpindah dan dimungkinkan tidak lancer karena adanya gangguan. Shannon dan Weaver mengenalkan beberapa konsep yang saling berkaitan, yaitu konsep gangguan (noise), transmitter, sumber (source), signal, receiver, destination, entropi, dan informasi.
           Noise dapat berapa fisik (mekanis), psikologis, semantic, ekologis, sosiokultural, dan kapasitas saluran (channel). Gangguna fisik adalah gangguan yang disebabkan faktor fisik medua transiter maupun receiver-nya. Gangguan psikologis adalag gangguan akibat suasana psikologis atau emosional peserta komunikasi. Gangguan semantic adalah gangguan vokalisasi pengucapan pesan, seperti mengeja atau mengucapkan kata-kata. Gangguan ekologis adalag gangguan yang berasal dari lingkungan tempat proses komunikasi berlangsung. Gangguan sosiokultural adalah gangguan yang berasal dari konteks sosial budaya peserta komunikasi. Gangguan-gangguan ini dapat menyebabkan kesalahan persepsi terhadap makna pesan dan akan memengaruhi kualitas informasi, akibat adanya perbedaan maksud yang disampaikan sumber kepada penerima.
           Konsep noise dalam komunikasi menyebabkan munculnya konsep entopy, yaitu situasi tidak kepastian, situasi yang tidak jelas, situasi yang tidak teratur atau yang meragukan. Dalam situasi entropi ini, seseorang membuthkan sesuatu yang dapat digunakan untuk mengurangi ketidakpastian atau keragu-raguan, yaitu informasi. Lawan dari entropi adalah negentropy, yaitu suaru situasi yang dengan mudah dapat diprediksi.
           Shannon & Weaver (1949, dalam Kriyantono, 2014)  mengatakan bahwa informasi “tidak banyak terkait dengan apa yang dikatakan dan apa yang dapat dikatakan. Karenanya, informasi adalah ukuran dari kebebasan pilihan dari seseorang ketika dia memilih suatu pesan”. Keduanya juga mengatakan bahwa setiap penggunaan alternative pilihan untuk mengurangi ketidakpastian dihitung dengan angka. Pada awalnya penghitungan dilakukan secara matematism yaitu informasi diuj=kur dengan satuan yang disebut biner atau binary digit (bit). Satu bit sama dengan pengukuran 50% dari keseluruhan alternative yang tersedia.
           Ketidakpastian akan memicu munculnya berbagai alternative pilihan kemungkinan, yang tiada lain yaitu informasi itu sendiri. Karena itu, Littlejohn menyebut redundancy  sebagai “ cara mengukur  a measure of predictability in the system. It is a quantitative measure – the ratia of entropy to the maximum amount possible in the system” (2009 : 512, dalam Kriyantono, 2014).

UNCERTAINTY REDUCTION THEORY
           Teori yang diciptakan Charles Berger dan Richard Calabrese pada 1975 menjelaskan bagaimana menggunakan komunikasi untuk mengurangi keragu-raguan, memahami orang lain dan diri sendiri, dan membuat prediksi tentang perilaku orang lain ketika berinteraksi dengan orang lain saat pertama bertemu. Tujuan komunikasi yaitu meminimalkan ketidakpastian yang dirasakan tentang lingkungan dan orang-orang sekitar.
           Teori ini, menurut Knobloch (2009, dalam Kriyantono, 2014), termasuk pionir yang membahas komunikasi interpersonal, khususnya saat seseorang bertemu pertama kali dengan seseorang yang lain (disebut teori initial inrection). Komunikasi merupakan alat untuk mengurangi ketidakpastian, setidaknya ada dua peran komunikasi. Pertama, komunikasi digunakan untuk mendapatkan informasi tentang lawan bicara, karena cenderung menjadi tidak pasti tentang orang tersebut, misalnya tidak pasti tentang apa yang dirasakn atau perasaan orang itu, motif orang itu, rencananya, ataupun tujuannya. Kedua, komunikasi digunaka untuk membuat prediksi atau penjelasan tentang makna perilaku lawan bicara.
           Berger (1979, dikuti di Hammer, Wiseman, Rasmussen, & Bruschke, 1998 : 310 ; Knobloch, 2009 : 997 ; Kriyantono, 2014 : 142) menjelaskan beberapa kondisi yang membuat level penguragan ketidakpastian saat tinggi, yaitu kondisi yang membuat Anda sangat ingi mengetahui banyak informasi tentang orang lain, yaitu :
·         anticipation of future interaction
·         Incentive value
·         Deviant behaviour
Berger & Bradag (1982, dikutip di Dainton & Zelley,2005 : 36 : Knoblock, 2009 : 976 ; West Turner, 2007 : 166 ; Kriyantono, 2014 : 143 ) mengembangkan teori ini dengan membangun dua jenis ketidak pastian yang dirasakn seseorang, yaitu :
·         Ketidakpastian perilaku (behavioral uncertainty).
·         Ketidakpastian kognisi (cognitive uncertainty).

Seseorang praktisi public relations  memiliki kewajiban untuk menjalin hubungan yang baik antara organisasi dan publiknya. Hubungan baik tersebut ddapat menggiring pada citra positif dan menciptakan reputasi positif terhadap organisasi di mata public. Untuk mencapainya, publik harus dalam kondisi kecukupan informasi (well-informed) tentang organisasi. Public relations berperan dalam hal ini untuk menjaga arus informasi agar berjalan dua arah secara timbal balik (Kriyantono, 2014). Untuk mengurangi ketidakpastian antara organisasi dengan publik eksternalnya, praktisi public relations dapat menyediakan informasi melalui newsletter, majalah dinding, atau website. Informasi yang disampaikan dapat berupa visi misi organisasi, siapa manajemen, kondisi terkini organisasi, masalah yang dihadapi organisasi, hak karyawan, dan sebagainya (Kriyantono, 2014). Sedangkan untuk mengurangi ketidakpastian dengan publik internal organisasi, Heath (2005, dalam Kriyantono, 2014) mengemukakan strategi komunikasi yang harus diterapkan praktisi public relations sebagai berikut:

a.       Mengumumkan berbagai perubahan sedini mungkin bagi semua publik terlibat.
b.      Memfasilitasi partisipasi staf dalam proses pengambilan keputusan untuk menyelesaikan suatu masalah.
c.       Menjaga agar aliran informasi terjadwal dengan baik.
d.      Apabila tidak dapat menyediakan informasi dengan baik, public relations harus dapat menjelaskan alasannya.
e.       Menjelaskan segala kebijakan atau keputusan yang diambil manajemen, termasuk alasan keputusan tersebut.
f.       Menjaga kepercayaan publik terhadap organisasi.
Excellence Theory dan Contingency of Accommodation Theory (CA)
TEORI EXELLENCE
Menurut Grunig & Hunt (1984, h. 25; dikutip di Kriyantono, 2014) teori Excellence dalam public relations merupakan pengembangan dari teori situasional dan 4 model public relations, model-model tersebut diantaranya:
1.      Model Press Agentry / Publisitas
Model ini mempunyai komunikasi satu arah yaitu Komunikator kepada Komunikan. Komunikator tidak terlalu mengharapkan umpan balik yang datang. Model ini bertujuan dalam melakukan suatu ajakan atau promosi yang menguntungkanperusahaan atau instansi. Ciri  dari model ini adalah mencari cara agar khalayak atau publik lebih tertarik dengan informasi-informasi yang diberikan oleh perusahaan yang bersangkutan.
2.      Model Public Information
Dalam model ini public relations membangun kepercayaan publik melalui komunikasi satu arah dengan memberikan informasi kepada public, tetapi todak mementingkan persuasive untuk mengubah sikap tetapi cenderung memproduksi dan menyebarkan informasi yang berkaitan dengan organisasinya.
3.      Model Two-Way Asymmetric
Public Relations dalam praktiknya melalui penyampaian pesannya berdasarkan hasil riset dan strategi ilmiah (scientific strategy) untuk berupaya membujuk publik, agar mau bekerja sama, bersikap dan berpikir sesuai dengan harapan organisasi. Agar persuasi tersebut berjalan dengan baik diperlukan pemahaman terhadap sikap dan karakteristik publik.
4.      Model Two-Way Symmetric
Model Simetris Dua Arah,merupakan cara ampuh dalam meningkatkan citra positif perusahaan terhadap publik. Model ini berbeda dengan model asimetris yang lebih pada masyarakat menyesuaikan diri pada perusahaan namun di model ini organisasi dan publik saling menyesuaikan diri satu sama lain. Fokus menggunakan metode penelitian dan teknik komunikasi untuk mengelola konfik dan memperbaiki  pemahaman publik secara terencana (Grunig 1992, h.18).
Karakter Organisasi Dalam Model Asymmetric dan Symmetric
Aktivitas Public Relations tidak dapat terlepas dari budaya organisasi yang budayanya tersebut akan menentukan model apa yang mendominasi aktivitas public relations tersebut (Grunig, 1989; Grunig & White, 1992; dikutip di Kriyantono, 2014, h. 98-100).
Karakteristik model asymmetric:
a.       Berorientasi internal, yaitu anggota organisasi hanya memandang realitas dari kacamata organisasi dan tidak memandang realitas dari kacamata public.
b.      System tertutup, yaitu informasi tersebar dari organisasi dan tidak membuka diri pada informasi dari luar organisasi.
c.       Menganggap efisiensi dan control atas segala biaya lebih penting daripada kebutuhan akan inovasi
d.      Bersifat elitism, yaitu pengambilan keputusan ditentukan hanya oleh pimpinan organisas.
e.       Konservatif, yaitu cenderung menolak perubahan
f.       Bersiwat kewenangan terpusat, yaitu kewenangan hanya pada segelintir manajer puncak
g.       Karakteristik model symmetric:
h.      Interdipenden, yaitu organisasi merasa menjadi bagian dari lingkungannya.
i.        System terbuka, yaitu organisasi membuka diri untuk pertukaran informasi dengan lingkungannya dan berinteraksi untuk saling memengaruhi.
j.        Bergerak menuju ekuilibrium.
k.      Mempunyai sifat kesederajatan atau kesetaraan yang tinggi, yaitu anggota organisasi mempunyai kesempatan yang samadan dihargai sebagai manusia yang menmpunyai hak dan kewajiban untuk membirakan input kepada organisasi.
l.        Memberikan otonomi kepada anggota organisasi untuk kreatif dan inovatif dalam bekerja.
m.    Lebih mengedepankan inovasi daripada fokus pada tradisi dan kebiasaan.
n.      Disentralisasi menejemen, yaitu cenderung berbagi kewenangan.
o.      Setiap anggota organisasi mesti menyadari konsekuensi dari setiap tindakannya dan berusaha mengurangi konsekuensi negative dari tindakannya bagi orang lain.
p.      Setiap konflik mesti ditangani melalui komunikasi, negosiasi, dan kompromi bukan manipulasi, pemaksaan dan kekerasan.
Teori excellence menganggap public relations bukan lagi sekedar berperan sebagai alat persuasif atau sebagai teknisi komunikasi untuk menyebarluaskan komunikasi. Namun public relations dianggap sebagai ahli yang melaksanakan peran sebagai manajer yang menggunakan penelitian dan dialog untuk membangun hubungan yang sehat dengan publiknya.
Banyak kritik dari pakar yang menilai model normatif ini sulit ditemukan dalam praktik public relations. Pakar-pakar tersebut adalah Cameron, dkk. (2001), Cancel, dkk. (1997), Reber & Cameron (2003). Pengkritik tersebut menilai sulit bagi organisasi yang hanya berfokus menerapkan model two-way symmetric dan menawarkan teori baru yaitu tcontingency theory of accommodation in public relations (teori CA), yang berpendapat bahwa two-way symmetric dan win-win solution sulit diterapkan sebagai bentuk ideal. Karena dalam kenyataan factor aturan atau legal sering tidak memungkinkan public untuk menang. Sebaliknya, organsasi yang memosisikan dirinya pada suatu kontinum antara bersikap akomodasi dan bersikap advokasi saat berhadapan dengan publiknya.
Agar dapat menghasilkan proses public relations yang excellence, teori ini memberikan 10 premis atau prinsip excellence atau factor excellence. Premis yang merupakan hasil dari penelitian terhadap 327 organisasi di tiga negara yang kemudian hasilnya dianalisis menggunakan teori komunikasi, public relations, manajemen, psikologi organisasi, sosiologi organisasi, psikologi social, psikologi kognisis, feminism, ilmu politik, pembuatan keputusan dan budaya (Grunig, dkk., 2008, dikutip di Kriyantono, 2014). Artinya, teori excellence dan model symmetric merupakan hasil membuat unifikasi teori. 10 premis tersebut yaitu:
a.       Organisasi mesti melibatkan aktivitas public relations dalam fungsi strategis manajemen. Yang setiap pengambilan keputusan mesti mempertimbangkan perspektif public relations agar menghasilkan kebijakan yang mencerminkan kualitas hubungan dengan public.
b.      Public relations mesti mendapat akses langsung ke dalam kelompok dominan dan dapat langsung berkomunikasi dengan manajer senior.
c.       Organisasi mesti mempunyai fungsi public relations yang terintegrasi ke dalam satu departemen sendiri.
d.      Public relations yaitu fungsi manajemen yang terpisah dari fungsi manajemen lain.
e.       Manajer public relations haruslah seorang yang bercirikan ‘manajer komunikasi,’ bukan ‘teknisi komunikasi’ (managerial).
f.       Mengadopsi model two-way symmetric sebagai basis utama menjalin relasi public.
g.       System komunikasi internal bersifat two-way symmetric, berupa desentralisasi struktur yang menjamin otonomi antarbagian, ada dialog 2 arah, dan memberi peluang anggota organisasi terlibat dalam mekanisme pengambilan keputusan.
h.      Fungsi public relations model symmetric, peran manajerial, pelatihan akademik public relations, dan profesionalitas dilakukan dengan berdasarkan ilmu pengetahuan yang memadai tentang bagaimana peran manajerial dalam system symmetric.
i.        Adanya diversitas peran dalam menjalankan fungsi public relations.
j.        Dalam menjalankan fungsinya, praktisi public relations harus mengutamakan kode etik dan integritas profesi.

CONTINGENCY OF ACCOMODATION THEORY (CA)
Contingency of Accomodation Theory dalam teori Public Relations merupakan pelengkap dari teori excellence. Teori CA ini secara umum menjelaskan tentang hubungan organisasi dan publiknya tidak dapat benar-benar mencapai posisi two-way symmetric seperti yang ditawarkan dalam teori excellence. Praktik public relations bergerak pada suatu kontinium antara advokasi bagi organisasi atau klien dan akomodasi total bagi publiknya (Cameron, dkk dalam Kriyantono, 2014, h.119)
Win-win solution yang ditawarkan model two-way symmetric tidak selamanya menjadi tawaran yang ideal bagi organisasi. Hal ini dikarenakan, ada beberapa faktor yang membuat model symmetric sulit untuk diterapkan dalam praktiknya, misalnya beberapa hal yang berkaitan dengan aturan hukum, sehingga tidak memungkinkan seorang public relations untuk memberitahukan hal tersebut kepada publik (Kriyantono,2014, h.120).
Variabel Teori Contingency of Accommodation
Seperti yang telah dipaparkan pada penjelasan sebelumnya, bahwa teori CA ini menekankan bahwa sikap atau posisi seorang PR sangat dinamis dan tergantung pada perubahan situasi yang terjadi (menurut Cameron dikutip dalam Kriyantono, 2014, h.122). Perubahan situasi ini ditentukan oleh variable internal dan eksternal yang memengaruhi organisasi. Berikut beberapa hal yang termasuk kedalam variable eksternal dan variabale internal (Kriyantono, 2014).
·         Variabel Eksternal
1.    Ancaman-ancaman (threats)
2.    Lingkungan industry (industry environment)
3.    Level ketidakpastian kondisi social politik atau perubahan budaya eksternal
4.    Publik eksternal (individu, kelompok)
5.    Isu yang dipertanyakan
·         Variabel Eksternal
1.      Karakteristik organisasi
2.      Karakteristik departemen Public Relations
3.      Karakteristik koalisi dominan (top management)
4.      Ancaman Internal (internal threats)
5.      Karakteristik individual (praktisi public relations, koalisi dominan, line managers)
6.      Karakteristik hubungan

Situational Theory Of The Publics
            James E. Grunig, seorang professor public relations dari University of Marryland, Amerika Serikat yang menggas teori ini. Secara umum, teori ini mendeskripsikan sikap dan perilaku komunikasi dari public terhadap organisasi. Teori ini juga menyatakan bahwa public memiliki pengetahuan atau kesadaran, sikap, dan perilaku tertentu terhadap organisasi. Teori STP ini bermanfaat untuk megidentifikasi public sehingga dapat membuat kategori public berdasarkan perilaku komunikasi dari individu dan efek komunikasi yang diterima individu tersebut. Teori ini membantu public relationsi untuk membuat target sasaran yang lebih spesifik, sehingga pesan komunikasinya benar-benar sesuai dengan kebutuhan sasarannya itu.
            Menurut Grunig (1979: 721, dalam Kriyantono, 2014 : 153), teori STP mempunyai beberapa asumsi dasar, yaitu :
a.       Persepsi seseorang pada suatu situasi akan menentukan kapan dia merespons, mengapa dia merespons, bagaimana cara dia merespons dan mengkomunikasikan situasi tersebut.
b.      Individu yang berbeda diasumsikan mempunyai perilaku yang lebih konsisten
c.       Setiap individu akan berusaha beradaptasi dengan suatu situasi dalam cara tertentu
d.      Publik yang bersifat situasional tergantung pada situasi yang dihadapi.
e.       Karena bersifat situasional, masalah atau isu bersifat dinamis, maka publik pun bersifat dinamis.
Grunig membangun teori ini berdasarkan ide dari Dewey tentang evolusi perkembangan publik. Menurut Dewey, publik mengalami perkembangan berdasarkan tiga aspek, yaitu aspek muncul masalah, aspek kesadaran akan masalah, dan aspek bentuk-bentuk respons terhadap masalah itu. Ada tiga macam tipe publik (Grunig, 1979) :
a.       Publik tersembunyi (latent public) adalah sekelompok orang yang sebenarnya mempunyai permasalahan yang sama, tetapi tidak dapat mengidentifikasi atau menyadari permasalahan itu sehingga mereka tidak memberikan respons.
b.      Publik teridentifikasi (aware public) adalah bentuk perkembangan  dari latent public, yaitu jika kelompok itu kemudian menyadari dan dapat mengidentifikasi suatu permasalahan (isu) maka kelompok itu berkembang menjadi “aware public”. Pada tahap ini “kecenderungan untuk komplain, protes, atau mendukung sudah mulai mucul” (Mackey, 2009:55)
c.       Publik aktif (active public) adalah sekelompok orang yang mendiskusikan dan merespons permasalahan itu dengan mengeluarkan opini atau melakukan aksi-aksi tertentu. Menurut Mackey (2009:55) teori ini juga “mengidentifikasi seseorang, disebut bukan publik organisasi (nonpublik) jika dia merasa tidak khawatir dengan aktivitas organisasi”.

Teori ini menjelaskan persepsi, sikap, serta perilaku komunikasi dari publik, menurut Grunig (1979) teori ini terdiri dari dua variabel pokok, yaitu variabel perilaku komunikasi dan variabel persepsi terhadap suatu situasi.
1.      Variabel Independen : Persepsi Situasional
Variabel ini menjelaskan satu atau lebih variabel dependen (perilaku konsumen). Dengan kata lain variabel persepsi situasional dapat digunakan untuk menjelaskan (1) kemungkinan perilaku komunikasi yang akan terjadi ; (2) di suatu yang mana pemmrosesan informasi akan terjadi dan di situasi mana pencarian terjadi ; (3) mengidentifikasi publik dan (4) mendeskripsikan perilaku komunikasi dari publik yang sudah diidentifikasi. Menurut Grunig (1979) variabel persepsi situasional memiliki empat subvariabel, yaitu :
a.          Problem Recognition
b.         Constraint Recognition
c.          Level of Involvement
d.         Refernt Criterion
2.      Variabel Dependen : Perilaku Komunikasi
Teori STP mendefinisikan perilaku komunikasi sebagai “bagaimana angota publik mempersepsi situasi dimana mereka dipengaruhi oleh konsekuensi” (Grunig & Hunt, 1984:148). Dalam menghadapi situasi atau permasalahan tertentu, biasanya seorang individu cenderung mencari informasi yang dapat digunakan atau sesuai dengan situasi atau permasalahan tersebut.
(Grunig & Hunt, 1984:153) mengombinasikan variabel problem recognition dan constraint recognition. Kombinasi ini menghasilkan empat tipe persepsi situasional, yaitu :
·         Problem-facing behaviour (terjadi bila problem recogniton tinggi-constraint recognition  rendah).
·         Constrained behavior (terjadi bila problem recognition tinggi- constraint recognition tinggi).
·         Routine behavior (terjadi bila problem recognition rendah – constraint recognition rendah).
·         Fatalistic behavior (terjadi jika problem recognition rendah – constraint recognition tinggi).

Teori ini membantu praktisi public relations untuk menjelaskan mengapa ada publik yang bersifat terhadap satu isu, publik yang bersifat aktif terhadap beberapa isu, dan ada yang bersifat tidak mau tahu. Praktisi public relations dapat merencanakan strategi komunikasinya lebih akurat dan efektis jika mengetahui seberapa aktif publik dalam mencari informasi (Lattimore, dkk., 2007). Teori STP dapat dijadikan acuan bagi praktisi public relations untuk bersikap lebih etis dalam kampanyenya. Karena teori ini membagi publik ke dalam beberapa kategori, sehingga kampanye public relations diharapkan dapat memengaruhi mereka menjadi aktif.
Public relations harus menyadari bahwa pengelompokan publik ke dalam perilaku komunikasi tertentu seperti yang dijelaskan teori STP, sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor tingkat pendidikan, pengetahuan, dan osilasi sosial (Grunig, 1979). Pengetahuan terhadap sifat perilaku komunikasi pebliknya, apakah aktif mencari informasi atau pasif terhadap suatu isu, akan membantu praktisi public relations dalam :
1.      Jika publik mempunyai perilaku aktif, praktisi public relations dapat menggunakan media yang lebih terspesialis, seperti booklet, majalah, seminar, newsletter, company-profile atau internet.
2.      Merencanakan strategi komunikasi dalam menyusun (encode) pesan-pesan komunikasi
3.      Menentukan jenis media komunikasi yang tepat dan sesuai untuk menyebarluaskan pesan
4.      Jika publik aktif mencari informasi, gaya dan kreativitas pesan tidak terlalu penting karena orang memang dengan keinginan sendiri berupaya mecari dan mendapatkan informasi sehingga dia akan berupaya memahami pesan yang diperolehnya.
5.      Membuat segmentasi publik berdasarkan perilaku komunikasinya, apakah aktif atau tidak.
6.      Sebagai antisipasi terjadinya masalah yang besar.

Teori Strukturasi Dan Teori Motivasi & Gaya Manajerial
TEORI STRUKTURASI
Teori Strukturasi ini digagas oleh Anthony Giddens pada 1984 (Falkheimer, 2007) dan dibangun berdasarkan teori interaksi sosial. Giddens membangun teori ini berdasarkan pandangannya bahwa individu mempunyai kemampuan mengubah struktur sosial. Menurut giddens, individu bebas dalam memilih perilaku komunikasinya sehingga memengaruhi terciptanya struktur tertentu. Struktur dalam sistem sosial seperti norma-norma kelompok, jaringan komunikasi institusi sosial, ataupun aturan pergaulan memengaruhi perilaku individu dan perilaku indivdu juga memengaruhi struktur-struktur itu,misalnya dengan membuat aturan baru. Prosses memproduksi dan mereproduksi struktur disebut strukturasi. Dengan demikian komunikasi dalam suatu sistem sosial merupakan hasil produksi perilaku komunikasi individu dan struktur sosial perilaku sosial. Komunikasi dalam suatu sistem sosial juga terbentuk dari hasil perpaduan perilaku komunikasi individu dan struktur sosial. Perilaku sosial termasuk perilaku komunikasi sosial, terbangun dari hasil strukturasi, yaitu proses memproduks dan mereproduksi struktur yang dilakukan melalui interaksi sosial.
Dalam perkembangannya, teori strukturasi diadopsi oleh Marshall Scott Poole and Robert McPhee untuk menerangkan proses komunikasi organisasi. Menurut Poole &McPhee (2005), organisasi memiliki struktur tertentu dan karenanya struktur di dalam organisasi merupakan ciri khas suatu organisasi.
Berdasarkan pendapat Giddens (1979), terdapat beberapa asumsi pokok teori strukturasi :
1.      Pertama, manusia adalah actor (agen) yang menentukan pilihan sendiri atas perilakunya. Menurut Poole & McPhee (2005), manusia sebagai agency ini mempunyai tiga karakteristik, yaitu :
(i)     Mempunyai kemampuan memaknai lingkungan kerjanya kondusif atau penuh konflik.
(ii)   Mempunyai pengetahuan yang berasal dari pengalaman hidupnya
(iii) Manusia mempunyai kemampuan melakukan refleksi diri
2.      Kedua, organisasi diproduksi dan direproduksi melalui struktur- yaitu penggunaan aturan dan sumber daya dalam interaksi sosial.
3.      Ketiga, struktur bukanlah entitas fisik, melainkan merupakan seperangkat peraturan dan sumber daya yang digunakan organisasi untuk mencapai tujuannya. Peraturan (rule) yaitu seperangkat aturan yang mengatur langkah-langkah mencapai tujuan yang mesti dilakukan suatu organisasi. Sumber daya merujuk pada berbagai property atau peralatan yang digunakan anggota organisasi untuk menyelesaikan tugas-tugasnya. Ada dua jenis sumber daya, yaitu :
(i)  Authoritative: karakteristik interpersonal dari anggota organisasi, seperti kohesi sosial, pengalaman, status sosial yang digunakan selama interaksi.
(ii)Alloctive (material-material yang membantu pekerjaan, seperti waktu, uang, computer, mesin fotokopi, kertas, dan mesin print).
4.      Keempat, karena struktur bersifat dinamis, maka struktur dalam organisasi bukan hanya dibentuk pada awalnya saja, melainkan juga mengalami proses pembentukan kembali.
5.      Kelima, struktur sering dipinjam dari kelompok yang lebih besar
6.      Keenam, teori strukturasi mengasumsikan bahwa semua interaksi sosial memuat tiga elemen : pemaknaan, moralitas, dan kekuasaan.
7.      Ketujuh, komunikasi berperan sebagai media interaksi dan juga merupakan hasil interaksi.
Berdasarkan teori ini, proses public relations sebagai suatu proses komunikasi yang dinamis dimaknai bukan hanya dilakukan oleh praktisi public relations, melainkan oleh semua anggota organisasi.Peran praktisi public relations yaitu mengkomodasi dan mengarahkan proses strukturasi agar tidak melenceng dari tujuan organisasi. Teori strukturasi memandang praktisi public relations sebagai kekuatan komunikasi yang melayani terjadinya reproduksi dan/atau transformasi suatu ideology dominan dari suatu organisasi. Jadi, public relations bukan hanya bertugas mengadaptasikan ideology itu kepada publiknya (Falkheimer, 2007).
TEORI MOTIVASI DAN GAYA MANAJERIAL
1.      Teori Hierarki Kebutuhan
Teori yang dikemukakan oleh Abraham Maslow menyebutkan beberapa tingkatan kebutuhan yang harus dipenuhi agar seseorang merasa terpuaskan (Kriyantono, 2014: 243). Pertama, aktulisasi diri yaitu pengembangan diri, pemenuhan ideology, dll. Kedua, penghargaan yaitu pencapain, status, tanggung jawab, reputasi. Ketiga, sosial yaitu afeksi, relasi, keluarga. Keempat, rasa aman yaitu keamanan, keteraturan, stabilitas. Kelima, fisiologis yaitu makanan, minuman, tidur, pakaian.

2.      Teori X dan Y
Teori motivasi yang menentukan gaya manajerial seorang manajerial ini dikenalkan oleh Douglas McGregor pada tahun 1967. Menurut Quaal & Brown (dalam Kriyantono, 2014: 244) teori X dideskripsikan sebagai upaya untuk mengelola orang dengan memotivasi mereka sejak awal dengan kekuatan fisik dan kekuasaan. Asumsi pada teori X bahwa setiap individu pada hakekatnya tidak menyukai bekerja, tidak memiliki kemauan, hanya membutuhkan motivasi fisiologis dan rasa aman saja, serta harus diawasi secara ketat dan sering dipaksa untuk mencapai tujuan organisasi.
Sedangkan, teori Y merupakan kebalikan dari teori Y. Asumsi pada teori Y bahwa setiap individu pada hakekatnya memiliki keinginan dan kebutuhan  yakni keinginan untuk bekerja, kebutuhan psikologi, keselamatan dan keamanan, kebutuhan sosial (untuk berkumpul dan berteman) serta kebutuhan yang bersifat individual (harga diri, kebutuhan akan prestasi, status sosial) menurut Quaal & Brown (dalam Kriyantono, 2014: 245). Dari asumsi tersebut diharapkan peran manajer lebih untuk mendorong dan menyediakan peluang dengan memberikan kesempatan mengembangkan potensi yang ada pada masing-masing individu.

3.      Teori V
Teori yang dikembangkan dari pandangan McGregor oleh Ward L. Quaal dan James A. Brown pada 1976 memandang proses manajerial sebagai proses relasi dua arah. Quaal & Brown (dalam Kriyantono, 2014: 246) menjelaskan bahwa proses manajemen merupakan hubungan antarpersonal yang mengandung makna ada interelasi yang dinamis dari orang-orang yang terlibat dalam proses pemberian dan pengaktualisasian perintah dan arahan.
V = (M à D) (a à m)
Artinya, proses manajemen yang dinamis (V) yaitu suatu fungsi manajemen sebagai subyek (M) mengarahkan (D) karyawan (manage) sebagai objek (m) untuk mengaktualisasiikan (a) maksud dari manajer tadi.

4.      Teori Kesehatan-Motivator
Dikemukakan oleh Frederick Herzberg pada 1959. Pada teori ini, terdapat dua factor kepuasan dan ketidakpuasan kerja, yaitu motivator (penghargaan, tanggung jawab, kemajuan pekerjaan, prestasi kerja, peluang pengembangan diri, dsb) dan pemeliharaan atau kesehatan (gaji, supervisi, keamanan kerja, kondisi lingkungan kerja, administrasi, hubungan dengan rekan kerja, dsb).

5.      Empat Gaya Manajerial dari Likert
Teori ini digagas oleh Rensis Likert pada 1967. Teori ini menjelaskan empat gaya atau sistem manajerial yang berdasarkan pada suatu analisis atas beberapa variable manajerial, yaitu motivasi, komunikasi, interaksi, pengambilan keputusan, pengawasan, level tanggung jawab, dan kinerja (Dainton & Zelley, 2005; Pace & Faules, 2001 dalam Kriyantono, 2014: 247).
·         System 1 : gaya penguasa mutlak (the exploitative authoritative)
·         System 2 : gaya semi mutlak (the benevolent authoritative system)
·         System 3 : gaya penasihat (the consultative system)
·         System 4 : gaya pegajak-serta (the participative management system)
Sangat penting bagi praktisi public relations untuk memahami motivasi karyawan. Maka, tugas public relations antara lain (Kriyantono, 2014: 250-251): Pertama, memahami apakah kebutuhan itu telah terpenuhi atau belum dan juga kendala dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Public relations dapat menggunakan saluran informal yakni managing by walking around (komunikasi antarpersonal dengan secara berkala mengajak ngobrol karyawan dan mengunjungi karyawan didepartemennya masing-masing). Kedua, public relations menyampaikan kebutuhan karyawan itu kepada manajemen karena public relations dapat berfungsi sebagai konsultan (expert prescriber), yang bertugas memberikan ide-ide dan masukan-masukan kepada manajemen tentang cara meningkatkan motivasi karyawan. Ketiga, merancang program komunikasi yang bisa mendorong peningkatan motivasi kerja karyawan. Misalnya melakukan program diskusi bulanan, social meeting antara manajemen dan karyawan, dan mengajak karyawan berperan aktif dalam produksi internal media (newsletter, majalah dinding), pemilihan karyawan terbaiik dengan iming-iming hadiah, dan sebagainya. Dimana public relations melalui komunikasi dapat menyebarkan pesan-pesan moral tentang perlunya peningkatan produktivitas bagi kepentingan bersama. Keempat, mendorong iklim komunikasi organisasi yang kondusif. Public relations, misalnya, mendorong manajemen untuk menerapkan pendekatan public relations sebagai teknik komunikasi (bukan sekedar metode komunikasi) dengan cara melakukan kunjungan kepada karyawan menurut Mary Parker Follet (dalam Kriyantono, 2014: 251) mengatakan, bahwa “manajer akan efektif dalam menggunakan kewenangannya bila mampu menjalin kontak personal secara face to face dengan karyawan, mencari feedback, dan menjalin kerja sama dengan karyawan.

Daftar Pustaka
Kriyantono, R. (2014). Teori public relations perspektif barat dan lokal: Aplikasi penelitian & praktik. Jakarta: Prenada Media.


Komentar